Thursday, September 30, 2010

Bangsa Pemarah (sumber portaldjp)



30/09/2010

KEKERASAN, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda paling nyata sebuah masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Yang dipamerkan justru emosi dan senjata. Yang diagungkan adalah kehendak menang sendiri bahkan dengan cara membunuh.

Hal sepele saja bisa menyulut kebrutalan yang berakibat fatal dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Itulah yang sedang kita saksikan hari-hari ini di seantero negeri. Kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur, merenggut tiga nyawa serta melukai puluhan lainnya. Ribuan perempuan dan anak-anak menjadi pengungsi dan mencari tempat berlindung di kantor polisi atau markas tentara serta tempat-tempat ibadah.

Tak hanya di Tarakan. Di Jakarta, dua kubu preman berseteru saling menyerang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga nyawa melayang sia-sia. Mereka seolah tak peduli imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin atas berbagai kerusuhan di Tanah Air.

Kini bangsa ini menjadi bangsa pemarah. Kita kehilangan kemampuan bertoleransi. Kohesitas di antara beragam etnik kian renggang dan malah bersalin dengan semangat saling membantai, saling membunuh.

Tragedi Tarakan yang berlangsung sejak Minggu (26/9) hingga kemarin adalah bukti kegagalan negara mengantisipasi. Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu.

Ada kasus kerusuhan antaretnik di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun silam yang banyak menelan korban jiwa. Juga ada kasus Poso (Sulawesi Tengah), Ambon, Abepura (Papua), dan sejumlah tempat lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.

Semua itu menyebabkan masyarakat setempat hidup dalam trauma, saling curiga dan tidak percaya sesama anak bangsa. Dan sekarang hal yang memprihatinkan itu terjadi di Tarakan.
Ada banyak faktor yang menyulut pecahnya konflik itu. Sebagian penyebabnya adalah rebutan penguasaan sumber daya ekonomi.

Para pendatang menguasai sumber daya ekonomi tertentu dan menyingkirkan sumber daya ekonomi masyarakat lokal. Hal itu menimbulkan iritasi sosial kemudian meledak menjadi kerusuhan.
Bentrokan mestinya dapat dicegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Bentrokan antarkubu preman di Jakarta Selatan kemarin, misalnya, tanda-tandanya telah terjadi pekan lalu. Tetapi aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Setelah korban berjatuhan, barulah polisi datang.

Pemerintah tidak boleh mendiamkan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan kemudian lalai mengantisipasi. Harus ada ketegasan. Kerusuhan tidak bisa diselesaikan dengan pidato.

Kita gemas melihat preman lebih berkuasa daripada aparat negara. Mereka leluasa menenteng samurai, parang, dan kelewang di jalan-jalan di tengah kota, mencari musuh, tanpa dilucuti polisi. Mereka bahkan memiliki senjata api dan melepaskan tembakan. Saling membunuh dan tidak bersikap toleran adalah budaya paling primitif dari sebuah peradaban. Ternyata bangsa ini belum juga beranjak dari situ.

MediaIndonesia
Kemarin Tarakan, Sekarang Jakarta

KITA prihatin dengan bentrokan yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur, yang menyebabkan beberapa orang tewas. Belum lagi persoalan itu bisa diselesaikan, kita melihat perkelahian antarkelompok terjadi di Jakarta.

Ada apa dengan bangsa kita ini? Mengapa tiba-tiba menjadi bangsa yang mudah marah? Ketika sudah marah kemudian bisa gelap mata untuk melakukan tindak kekerasan yang tidak pernah kita bayangkan.

Cerita seperti ini sebelumnya hanya kita tahu terjadi di Afrika. Oleh karena masih menjadi suku-suku, mereka belum mengenal yang namanya peradaban. Konflik komunal hanya terjadi pada masyarakat yang terbelakang peradabannya.

Kita tentunya bukan merupakan kelompok masyarakat terbelakang seperti itu. Kita sudah menjadi masyarakat dunia. Kita bahkan menjadi salah satu dari 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Di era terbuka seperti sekarang, adanya konflik komunal yang merengut banyak orang dengan mudah menjadi pembicaraan masyarakat dunia. Ketika itu terjadi tentunya sebuah aib besar bagi kita sebagai bangsa.

Keadaan seperti ini tentunya tidak bisa kita biarkan. Kita harus mencegah jangan sampai konflik komunal baik yang terjadi di Tarakan maupun Jakarta kemudian bereskalasi.

Tentunya yang lebih penting lagi kita lakukan adalah mengungkap akar persoalannya. Kita harus bisa mencari jawaban mengapa konflik komunal bisa merebak lagi di tengah masyarakat.

Semangat yang harus kita pakai bukanlah untuk menyalahkan. Kita perlu tahu akar persoalannya agar kita bisa menemukan obat paling mujarab untuk mengobati penyakit sosial yang menakutkan ini.

Terus terang konflik massal seperti yang terjadi di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, menakutkan masyarakat. Apalagi, mereka saling menyerang dengan membawa alat tajam. Mereka bukan hanya membawa golok ataupun parang, tetapi senjata yang lebih mematikan.

Sekali lagi kita perlu mencari tahu, apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik massal. Kita perlu mengantisipasi kemungkinan semakin terbatasnya ruang ekonomi di tengah masyarakat.

Yang terakhir ini sangat mudah memancing ketegangan, karena ekonomi berkaitan dengan urusan perut, urusan hidup. Banyak di antara warga masyarakat yang semakin termarginalkan dan terbatas aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi.

Terutama pemerintah tugas utamanya adalah membela kepentingan masyarakat yang semakin terpinggirkan itu. Tugas utama dari pemerintah daerah menjamin bahwa tidak ada anggota masyarakatnya yang merasa tertinggal dan tidak ikut dalam arus besar pembangunan.

Mengapa kita terutama tekankan peran dari pemerintah daerah? Karena merekalah yang berada di depan dan seharusnya mengetahui apa yang terjadi dengan rakyatnya. Ketika ada penumpukan sumber ekonomi atau ada sebagian masyarakat yang tidak memunyai akses terhadap sumber ekonomi, tugas pemerintah daerahlah untuk memerbaikinya.

Kita sangat menyesalkan bahwa banyak kepala daerah yang tidak menjalankan tugas itu. Mereka tidak turun langsung kemasyarakatnya untuk mengetahui secara langsung apa yang terjadi dengan kehidupan di tingkat bawah.

Kecemburuan ekonomi merupakan pintu masuk bagi terjadi benturan di tingkat masyarakat. Ketika ada pihak-pihak yang pandai memanfaatkan kesempatan, maka dengan mudah akan terjadi gesekan di antara masyarakat.

Inilah yang harus membuat kita semakin waspada. Terutama para pemimpin harus dekat dan mendengar suara masyarakatnya. Tugas utama dari para pemimpin adalah menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat.

Metrotv


Copyright © 2008. Direktorat Jenderal Pajak

2 comments:

Gadis Gerimis said...

hi,, Salam Kenal Zae..

zed said...

hi
salam kenal juga gadis gerimis.... :)